MOHON DO'A RESTU DAN DUKUNGAN, segera diresmikan Operasioanl Kampus Anak Yatim & Dhuafa Yayasan Afief Dimyathi Bandarlampung pada 10 Muharram 1434 H.

Sabtu, 01 Desember 2012

Laporan Kerja Pelaksana pada Acara Haflah Taaruf




Bismillahirahmanirrahim,
Assalamu’alaikum wr. Wb.
Alhamdulillahirobbilallamin....
Solaatan wa salaaman Ilaa nabiyyil kiroom ....
Amma ba'du.

Hadirin hadirat yang dirahmati Allah ....
Mengawali penyampaian laporan kerja ini, ijinkan saya terlebih dahulu untuk menseragamkan persepsi kita semua tentang istilah-istilah : Kampus Yatim, Rumah Yatim, dan Panti Asuhan; apa dan bagaimana pola kepengasuhannya.
Pertama, panti asuhan. Tentu istilah ini sudah tidak asing lagi di telinga kita, karena telah lama populer di masyarakat. Pengertian panti asuhan menurut Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak (2004:4) adalah, suatu lembaga pelayanan profesional yang bertanggung jawab memberikan pengasuhan dan pelayanan pengganti fungsi orang tua kepada anak.
Panti asuhan memiliki peran yang sangat mulia, salah satu tugasnya adalah memberikan pelayanan sosial dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan pemecahan masalah sampai mampu melaksanakan fungsi sosialnya. Umumnya panti asuhan hanya menyediakan tempat tinggal/asrama, kebutuhan sandang dan pangan, hingga arena bermain. Untuk kebutuhan pendidikan formal (sekolah), pihak pengelola menyalurkannya pada lembaga-lembaga terdekat di luar asrama, baik sekolah negeri mampu swasta, sedangkan pendidikan non formal, biasanya dilakukan sendiri oleh pihak penyelenggara.
Yang kedua, Rumah Yatim.

Bapak ibu hadirin hadirat yang saya hormati....
Belakang ini telinga kita sering didengarkan dengan istilah “Rumah”, mulai dari rumah mode, rumah kreasi, rumah hukum, rumah seni dan rumah-rumah lainnya. Sampai-sampai dalam urusan ibadah pun ada istilah Rumah Zakat, Rumah Qurban, dan Rumah Yatim.
Sebenarnya, Rumah Yatim mengandung pengertian dan pola yang tidak jauh berbeda dengan Panti Asuhan Yatim, hanya saja dalam segi manajemen, Rumah Yatim jauh lebih profesional dan terkesan lebih modern. Tidak dipungkiri bahwa penggunaan istilah Rumah Yatim dari Panti Asuhan Yatim adalah untuk menghilangkan stigma kata “panti” yang berkonotasi pencibiran. Kesan yang tercipta dari kata “panti” bertendensi pada penistaan golongan. Coba saja apa yang ada di benak pikiran ketika kita mendengar kata : Panti Rehabilitasi, Panti Jompo, Panti Pijat, dan lain-lain, yang penghuninya disebut Orang Panti atau Anak Panti.
Selanjutnya, istilah yang ketiga adalah Kampus Yatim. Istilah inilah yang saya pakai untuk menamai lembaga kami yaitu Kampus Yatim & Dhuafa - Yayasan Arief Dimyathi.
Boleh saja dikatakan bahwa sama saja pengertian istilah antara Kampus Yatim dengan Rumah Yatim, dan Panti Asuhan, namun tetap ada perbedaanya. Beda yang paling mendasar adalah kepengasuhan di kampus yatim menerapkan pola kepengasuhan terpadu. Artinya kepengasuhan secara formal dan non formal dilakukan dalam satu kampus yang integral, sebagaimana yang diterapkan di pondok-pondok pesantren. Ini yang tidak dimiliki oleh Rumah Yatim dan Panti Asuhan.
Singkatnya, kampus yatim adalah Rumah Yatim atau Panti Asuhan yang menghadirkan kehidupan Pondok Pesantren dalam kepengasuhannya. Kampus Yatim & Dhuafa - Yayasan Arief Dimyathi menerapkan pola demikian, yang belum umum diterapkan di Indonesia, khususnya di Bandarlampung.
Sebagaimana galibnya sebuah kampus, --mohon doa restunya-- di areal ini akan berdiri lembaga pendidikan dengan berbagai jenjang. Kalau saat ini baru ada SD, seiring berjalannya waktu Insya Allah akan ada SMP, lanjut kemudian SMA, hingga perguruan tinggi. Dan yang menjadi peserta didiknya adalah para anak yatim dan anak dhuafa berprestasi, yang mendapatkan subsidi penuh dan tunjangan fasilitas cuma-cuma alias gratis di dalam kampus selama masa pendidikan.
Untuk menuju ke arah sana, tentunya bukan hal mudah. Layaknya sebuah konsep atau gagasan baru, pastilah tidak lepas dari tantangan juga tentangan.

Ayyuhal haadirin wal haadiraat rahimakumullah ....
Mengawali jejak langkah pendirian Kampus Anak Yatim & Dhuafa - Yayasan Arief Dimyathi, di awal Tahun Pelajaran 2012/2013, kami bermitra dengan Yayasan Berkah Insantama yang mengelola SDIT yang sudah menjalankan kegiatannya memasuki tahun kedua. Antara kami merasa memiliki visi dan misi yang sama dalam bidang pendidikan berbasis akhlaqul karimah, dakwah Islamiyah, dan kepedulian sosial, sehingga walau melalui perkenalan yang sangat singkat, kami bersepakat untuk saling mengisi dan berbagi. Dan wujud daripada itu adalah keberadaan SDIT Insantama bergandeng beriring dengan Yayasan Arief Dimyathi dalam satu kampus, bersinergi berkolaborasi. Kami telah berkomitmen yang dicatat dalam sebuah akad, untuk sama-sama membangun bersama, membesarkan bersama, dalam kampus ini untuk “Li I’laa’i Kalimatillah” dan “Li Izzati Dinillah”. Gugus kerjanya adalah : SDIT Insantama menjalankan misinya di bidang pendidikan formal, sementara Yayasan Arief Dimyathi menjalankan misinya dalam bidang pendidikan non formal dan kepengasuhan.
Sinergi ini bukannya tanpa tantangan sebagaimana sudah disinggung di atas tadi.  Di awal tapak kaki ini berjalan, kami sudah menemui hambatan yang tidak bisa kami abaikan dalam laporan kerja ini. Jika umumnya panti asuhan menghadapi kendala sulitnya memenuhi sarana dan fasilitas layak untuk kebutuhan anak asuhnya, kami justru sebaliknya. Kendala yang kami hadapi adalah sulitnya memenuhi anak asuh untuk menggunakan fasilitas yang sudah kami sediakan.
Hingga saat acara ini diselenggarakan, saya harus jujur melaporkan bahwa anak yatim yang kami kelola masih belum ada. Upaya yang sudah kami lakukan dengan menyampaikan pengumuman melalui Mimbar Jum'at, menempelkan dan menyebarkan brosur di tempat-tempat strategis, hingga memposting dan mempublikasikan blog di internet, belum membuahkan hasil. Bukan itu saja, atas rekomendasi aparat RT setempat, kami terjun langsung jemput bola mendatangi ke sasaran, mengetuk pintu-pintu rumah orang tua / wali yatim yang dalam data memiliki anak yatim, juga belum membuahkan hasil yang diinginkan. Hingga formulir yang kami sebarkan harus kembali dalam keadaan bersih belum terisi, padahal jumlah anak yatim & dhuafa yang kami butuhkan terbatas tidak lebih dari 10 anak saja.
Permasalahannya bukan karena ketiadaan anak yatim, data yang kami peroleh di lingkungan kampus terdapat 7 anak dari 2 RT. Di Kelurahan Kangkung Telukbetung terdapat 25an anak dari 4 RT, dan di Bumi Waras terdapat 4 anak.

Bapak ibu hadirin hadirat yang saya hormati....
Keyakinan kami, bahwa untuk membangun generasi masa depan yang gemilang, harus dimulai semenjak dini, mempersiapkan tunas-tunas insani yang masih murni dan belum banyak terkontaminasi. Kami ingin mendidik, mengasuh, dan membina anak yatim dan dhuafa dimulai dari jenjang awal pendidikan dasar. Selaras dengan itu, mitra kerja kami SDIT Insantama juga memang baru memulai kiprahnya di tahun kedua. Untuk itu, kategori anak asuh yang kami rekrut adalah mereka para putra/putri yatim, piatu, yatim piatu, dan dhuafa kisaran usia 6 sampai 9 tahun, atau yang setingkat dengan kelas I dan II sekolah dasar. Bisa jadi, di sinilah sumber kesulitan kami. Hambatan yang kami temui di lapangan dalam hal perekrutan anak asuh, khususnya para anak yatim karena kami membatasi usia sebagai kriteria.
Yang kami sayangkan, pada diri orang tua / wali yatim belum tumbuh kesadaran tentang masa depan anak yatimnya, masa depan pendidikannya, masa depan pekerjaannya, dan masa depan penghidupannya kelak setelah tumbuh dewasa, ketika belas kasihan dari orang sudah tidak lagi didapatkan. Paradigma yang tertanam pada mayoritas orang tua / wali yatim terhadap anak yatimnya adalah paradigma instan dan kontan; bahwa menyantuni anak yatim adalah dengan memberinya sandang, pangan atau uang, yang hasilnya bisa dinikmati langsung. Sementara yang kami tawarkan adalah santunan kepada anak yatim dan dhuafa berupa stimulan dalam bentuk pendidikan yang hasilnya baru akan dirasakan 15 hingga 20 tahun kemudian. Analisa kami, inilah yang membuat para orang tua / wali yatim ‘emoh’ melepaskan anak yatimnya, ditambah lagi memang sifat alamiah kanak-kanak yang masih belum bisa jauh dari orang tua.
Tantangan ini bagi kami bukan menjadi penghalang. Ketulusan untuk mendirikan Kampus Anak Yatim & Dhuafa - Yayasan Arief Dimyathi tidak boleh berhenti hanya oleh karena kami belum mempunyai anak asuh. Mungkin Allah belum memberikan kesempatan kepada kami untuk mengasuh anak yatim tahun ini, mungkin kami belum melakukan persiapan dan usaha yang maksimal, mungkin kami masih harus banyak belajar, bersabar ....
Untungnya koordinasi, komunikasi, dan kerja sama dari pihak-pihak pendukung senantiasa saya galakan. Walaupun bukan anak yatim, pihak SDIT Insantama menyodorkan 2 siswanya (kelas 1 dan 2) untuk menjadi anak asuh perdana kami. Kemudian disusul anak Ketua Yayasan Arief Dimyathi dan diikuti oleh anak Pengurus SDIT Insantama. Jadi saat ini Kampus Anak Yatim & Dhuafa - Yayasan Arief Dimyathi sudah melakukan kegiatan kepengasuhan terhadap 4 anak asuh yang dimulai semenjak sepekan yang lalu. Atas kerja sama ini, saya memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya, Jazaakumullah....
Apresiasi juga saya sampaikan kepada Pendiri Yayasan Arief Dimyathi Bapak Drs. Hi. Gatot Eko Andoyo, M.BA. atas kepercayaan dan keyakinannya yang diberikan kepada saya, sehingga saya terus terpompa motivasinya.
Akhirnya saya cukupkan laporan singkat ini sampai di sini, mohon maaf apabila banyak terdapat khilaf, kepada Allah saya mohon ampun ....
Wassalam,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kalimat (komentar) yang baik dan membangun adalah shadaqoh....